Selasa, 30 Agustus 2011

Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan: Post Op Craniotomi atas Indikasi Cedera Kepala Berat


 A.    Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan seluruh proses kejadian sejak pembuahan sampai masa dewasa.
1.      Pengertian
a.       Pertumbuhan
Menurut Whaley dan Wong (2000, dalam Hidayat, 2005), pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur. Pertumbuhan lebih ditekankan pada pertambahan ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala.
b.      Perkembangan
7
 
Perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whaley dan Wong, 2000, dalam Hidayat, 2005). Aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu perkembangan kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk memompa darah, kemampuan untuk bernapas, kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, bicara, memungut benda di sekelilingnya dan kematangan emosi dan sosial anak.

2.      Manfaat Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Adapun manfaat dari konsep pertumbuhan dan perkembangan, yaitu (Supartini, 2004):
a.       Sebagai alat ukur dalam asuhan keperawatan.
b.      Diperlukan untuk mengetahui yang normal dalam rangka mendeteksi deviasi dari normal.
c.       Mempelajari tumbuh kembang memberikan guide line untuk menilai rata-rata atau perubahan fisik, intelektual, sosial dan emosional yang normal.
d.      Mengetahui perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional merupakan penuntun bagi perawat dalam mengkaji tingkat fungsional anak dan penyesuaiannya terhadap penyakit dan dirawat di rumah sakit.




3.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tumbuh dan Kembang
Menurut Soedjiningsih (2002, dalam Nursalam dkk, 2005), faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.       Faktor Dalam (Internal)
1)      Genetika. Faktor genetis akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan kematangan tulang, alat seksual, serta saraf, sehingga merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang, yaitu:
a)      Perbedaan ras, etnis, atau bangsa. Tinggi badan orang Eropa akan berbeda dengan orang Indonesia atau bangsa lainnya, dengan demikian postur tubuh tiap bangsa lainan.
b)      Keluarga. Ada keluarga yang cenderung mempunyai tubuh gemuk atau perawakan pendek.
c)      Umur. Masa pranatal, masa bayi, dan masa remaja merupakan tahap yang mengalami pertumbuhan cepat dibandingkan dengan masa lainnya.
d)     Jenis kelamin. Wanita akan mengalami masa prapubertas lebih dahulu dibandingkan dengan laki-laki.
e)      Kelainan kromosom. Dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, misalnya sindroma Down.
2)      Pengaruh hormon, pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa pranatal, yaitu saat  janin berumur 4 bulan. Pada saat itu, terjadi pertumbuhan yang sangat cepat. Hormon yang berpengaruh terutama adalah hormon pertumbuhan somatotropin yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari. Selain itu, kelenjar tiroid juga menghasilkan kelenjar tiroksin yang berguna untuk metabolisme serta maturasi tulang, gigi, dan otak.
b.      Faktor Lingkungan (Eksternal)
Faktor lingkungan yang berpengaruh dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pranatal, kelahiran dan pascanatal.
1)      Faktor pranatal (saat kehamilan), meliputi: gizi (nutrisi ibu hamil), mekanis (posisi janin abnormal yang dapat menyebabkan kelainan kongenital, mis club foot), toksin, zat kimia, radiasi, kelainan endokrin, infeksi TORCH atau penyakit menular seksual, kelainan imunologi dan psikologis ibu.
2)      Faktor kelahiran, riwayat kelahiran dengan vakum ekstraksi atau forceps dapat menyebabkan trauma kepala pada bayi sehingga berisiko terjadinya kerusakan jaringan otak.
3)      Faktor pascanatal, seperti halnya pada masa pranatal, faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak adalah gizi, penyakit kronis/kelainan kongenital, lingkungan fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosioekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulus, dan obat-obatan.


4.      Pola Tumbuh Kembang
Beberapa pola pertumbuhan dan perkembangan pada anak, di antaranya (Hidayat, 2005):
a.       Pola Pertumbuhan Fisik yang Terarah
Pada pola ini terdapat dua prinsip atau hukum perkembangan yaitu prinsip cephalocaudal dan prinsip proxomodistal (Wong, 1995). Pertama, cephalocaudal atau head to tail direction (dari arah kepala kemudian ke kaki). Kedua, prox   imal distal atau near to far direction (menggerakkan anggota gerak yang paling dekat kemudian menggerakkan anggota gerak yang lebih jauh atau bagian tepi).
b.      Pola Perkembangan dari Umum ke Khusus
Pola ini dikenal dengan nama pola mass to specific atau mass to compiex (Wong, 1995), pola pertumbuhan dan perkembangan ini dapat dimulai dengan menggerakkan daerah yang lebih umum (sederhana) dahulu baru kemudian daerah yang lebih kompleks (khusus)..
c.       Pola Perkembangan Berlangsung dalam Tahapan Perkembangan
Pada pola ini tahapan perkembangan dibagi menjadi lima bagian yang tentunya memiliki prinsip atau ciri khusus dalam setiap perkembangannya di antaranya (Gunarsa, 1997):
1)      Masa pra lahir, terjadi pertumbuhan yang sangat cepat pada alat dan jaringan tubuh.
2)      Masa neonatus, terjadi proses penyesuaian dengan kehidupan di dunia luar rahim dan hampir sedikit aspek pertumbuhan fisik dalam perubahan.
3)      Masa bayi terjadi perkembangan sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya dan memiliki kemampuan untuk melindungi dan menghindari dari hal-hal yang mengancam dirinya.
4)      Masa anak, terjadi perkembangan yang cepat dalam aspek sifat, sikap, minat dan cara penyesuaian dengan lingkungan dalam hal ini keluarga dan teman sebaya.
5)      Masa remaja akan terjadi perubahan ke arah dewasa sehingga kematangan pada tanda-tanda pubertas.
d.      Pola Perkembangan Dipengaruhi oleh Kematangan dan Latihan (Belajar)
Proses kematangan dan belajar pada pola ini selalu mempengaruhi perubahan dalam perkembangan anak, antara kematangan dan proses belajar terjadi interaksi yang kuat dalam mempengaruhi perkembangan anak (Gunarsa, 1997).

5.      Tumbuh dan Kembang Anak Usia Sekolah (7 tahun)
Berikut ringkasan pertumbuhan dan perkembangan yang akan memberikan gambaran tentang pencapaian fisik, psikososial dan mental pada anak umur 7 tahun (Wong, 1996):

a.       Fisik dan Motorik
1)      Mulai bertumbuh sedikitnya 5 cm setahun.
2)      Berat badan: 17,7 sampai 30 kg; tinggi badan 111,8 sampai 129,7 cm.
3)      Gigi insisi maksilar dan insisi mandibular lateral muncul.
4)      Lebih waspada pada pendekatan penampilan baru.
5)      Mengulangi kinerja untuk memahirkan.
6)      Rahang mulai lebar untuk mengakomodasi gigi permanen.
b.      Mental
1)      Memperhatikan bahwa bagian tertentu hilang dari gambar.
2)      Dapat meniru gambar permata.
3)      Ulangi tiga angka ke belakang.
4)      Mengulang konsep waktu; membaca jam biasa atau jam tangan dengan benar sampai seperempat jam terdekat; menggunakan jam untuk tujuan praktis.
5)      Masuk kelas dua.
6)      Lebih mekanis dalam membaca; sering tidak berhenti pada akhir kalimat, meloncati kata seperti: ia, sebuah.
c.       Adaptif
1)      Menggunakan pisau meja untuk memotong daging; memerlukan bantuan dengan belajar atau bagian sulit.
2)      Menyikat dan menyisir rambut dengan pantas tanpa bantuan.
3)      Mungkin mencuri.
4)      Menyukai membantu dan menyukai membuat pilihan.
5)      Penolakan berkurang dan keras kepala.
d.      Personal-Sosial
1)      Menjadi anggota sejati dari kelompok keluarga.
2)      Mengambil bagian dalam kelompok bermain.
3)      Anak laki-laki lebih suka dengan anak laki-laki; dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan.
4)      Banyak menghabiskan waktu sendiri; tidak memerlukan banyak teman.

6.      Perkembangan Sistem Persarafan Anak
a.      Sistem Saraf
Sistem saraf adalah penghubung dari dua fungsi bagian serebral yaitu (Tarwoto dkk, 2007):
1)      Susunan Saraf Pusat (SSP)
Susunan saraf pusat terdiri dari:
a)      Otak, dibagi menjadi tiga bagian besar: serebrum, batang otak, dan serebellum.
b)      Medula spinalis, medula spinalis merupakan bagian jaringan saraf yang terletak dalam kolumna vertebra dan memanjang dari medula batang otak sampai ke area vertebra lumbal pertama. Fungsi utama medula spinalis adalah mengendalikan berbagai aktivitas refleks dalam tubuh dan mentransmisi impuls ke dari otak melalui traktus asendens dan desendens.
2)      Susunan Saraf Tepi (SST)
Susunan saraf tepi atau perifer terdiri dari dua bagian, yaitu saraf afferent dan saraf efferent.
a)      Saraf afferent (sensorik), menghantarkan informasi dari reseptor-reseptor khusus yang berada pada organ permukaan atau bagian dalam ke otak.
b)      Saraf efferent (motorik), menyampaikan informasi dari otak dan medula spinalis ke organ-organ tubuh seperti otot rangka, otot jantung, otot-otot bagian dalam dan kelenjar.
(1)   Sistem saraf somatik (volunter). Indra somatik  merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensoris dari tubuh (penglihatan, penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan).
(2)   Sistem saraf otomatik (involunter). Saraf otonom adalah saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh, seperti kelenjar, pembuluh darah, paru-paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan. Jika yang satu merangsang, yang lainnya menghambat dan sebaliknya. Kedua saraf ini disebut saraf simpatis dan parasimpatis. (a) Sistem Saraf Otonom Simpatis (SSOS), bagian simpatis yang meninggalkan sistem saraf pusat (SSP) dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal) medula spinalis dan (b) Sistem Saraf Otonom Parasimpatis (SSOP), bagian parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen-komponen saraf kranial) dan bagian sakral medula spinalis (kraniosakral) (Syaifuddin, 2002).

b.      Perkembangan Sistem Saraf
Menurut Hockenberry (2007), perkembangan sistem saraf dan anatomi pada anak berbeda dengan orang dewasa.
1)   Perkembangan sistem saraf
Perkembangan sistem saraf telah ada sebelum anak lahir, 2 periode dari pertumbuhan sel otak telah ada pada pertumbuhan janin. Pada usia kehamilan 15-20 minggu terjadi pertumbuhan saraf yang signifikan. Kemajuan perkembangan sistem saraf berlanjut pada masa anak-anak awal dan perlahan-lahan hingga usia remaja. Secara berangsur-angsur volume otak mulai mengisi lingkaran kepala, mulai saat tahun pertama hingga tahun kedua kehidupan.
Sebagian besar pertumbuhan otak bayi baru lahir mulai saat bayi dilahirkan sampai umur 1 tahun, 75% umur anak 3 tahun, dan 90% umur anak 6 tahun. Kebutuhan metabolik seperti dibutuhkan anak-anak hingga umur 6 tahun merupakan setengah dari kebutuhan orang dewasa untuk keperluan tumbuh kembangnya.
Pertumbuhan otak tergantung dari perkembangan neuron, sel otak baru mulai berkembang saat 100 hari pertama usia gestasi. Sel otak bertambah 250.000/menit dan ada setelah 6 bulan janin hidup.
Berat otak 12% dari berat tubuh bayi saat lahir dan akan bertambah dua kali lipat di tahun pertama dan sampai usia 5-6 tahun kelahiran bertambah 3 kali lipat beratnya. Pertumbuhan otak mulai lambat saat usia dewasa yang hanya 2% dari berat badan.
Perkembangan dari sistem saraf terjadi secara bertahap. Otak dan spinal cord (saraf tulang belakang) adalah bagian penting dari embrio dan pekembangan secara signifikan akan terjadi setelah bayi dilahirkan. Latihan khusus pada bayi akan mempercepat proses perkembangan otak dan rangsang dari lingkungan luar juga dapat mempercepat proses perkembangan otak.
2)   Sistem Saraf Pusat
Susunan tulang tengkorak  merupakan penutup yang kuat dan pelindung utama dari otak. Struktur tulang dapat berubah dari masa bayi dan anak-anak dan menjadi kokoh saat anak beranjak remaja.  Darah disuplai dari durameter oleh arteri meningeal tengah, cabang dari arteri karotis. Memasuki usia 2 tahun tulang di inferior akan terbungkus oleh temporal dan parietal.
3)   Pelindung Otak
Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen, yaitu pia meter, arakhnoid, dan dura mater. Dura mater melekat erat pada masa bayi, menyebabkan penyebaran darah lambat di pendarahan epidural.
Pelindung otak memiliki beberapa lapisan, di antaranya (Muttaqin dan Sari, 2009):
a)      Jaringan Lunak
(1)   Jaringan Kulit Luar Kepala
Tebal kulit kepala antara 3-7 mm, paling tebal di oksiput dan paling tipis di frontal dan temporal. Terdiri dari: kutis, subkutis, lapisan aponeurotik (galea aponeurotica).
(2)   Lapisan Subaponeurotik
Ruang potensial, disebut juga sebagai danger space of the scalp, karena melalui lapisan ini cairan atau infeksi mudah meluas.
(3)   Perikranium / Periosteum Eksterna
Melekat pada tulang dibawahnya, terutama di daerah sutura.
(4)   Pembuluh Darah
Berdasarkan lokasinya, pada kulit kepala terdapat pembuluh darah arteri yaitu: Anterior (a. supraorbita cabang a. optalmika dan a. supratroklearis cabang terminal a. optalmika), Posterior (a. oksipitalis cabang a. kanalis eksterna), Lateral (a. temporalis superfisialis, salah satu cabang terminal a. kanalis eksterna dan a. artikularis posterior cabang karotis eksterna).
b)      Kranium
Struktur lapisan tulang kepa terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
(1)   Tabula eksterna, merupakan lapisan keras.
(2)   Diploe, merupakan lapisan tulang “cancellous dan mengandung banyak cabang-cabang arteri/vena diploika yang berasal dari permukaan luar maupun dura mater.
(3)   Tabula interna, serupa tabula eksterna hanya saja lebih tipis, sehingga pada benturan tidak tertutup kemungkinan terjadi fraktur menekan pada tabula interna.
c)      Meningen
Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen, yaitu pia mater, arakhnoid dan duramater (Muttaqin, 2008, hlm. 13).
(1)   Pia Mater, langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur eksternal otak dan jaringan spinal. Pia mater merupakan jaringan vaskuler, tempat pembuluh-pembuluh darah berjalan menuju struktur dalam SSP untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf.
(2)   Arakhnoid, merupakan suatu membran fibrosa yang tipis, halus dan avaskular. Arakhnoid meliputi otak dan medula spinalis, tetapi tidak mengikuti kontur luar seperti pia mater.
(3)   Dura Mater, merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis dan mirip kulit sapi, yang terdiri atas dua lapisan-lapisan luar yang disebut duraendosteal (membentuk bagian dalam periosteum) dan bagian dalam disebut dura meningeal (membatasi kanalis vertebralis medula spinalis).
1)   Otak
Otak merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ, otak berisi hampir 98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10 miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional. Berat otak bayi saat ini sudah mencapai 25% berat otak orang dewasa, atau sekitar 350-400 gram. Ketika usianya enam bulan, berat otak bayi hampir 50% dari berat otak orang dewasa.
Otak yang setiap menit membutuhkan darah sebanyak 150 ml ini, mencapai tahap perkembangan yang berbeda-beda setiap bagiannya. Misalnya, bagian otak yang mengontrol sistem pendengaran sudah mulai berkembang sejak janin berusia 28 minggu. Sedangkan bagian otak yang mengatur sistem penglihatan baru berkembang setelah bayi lahir. Adapun struktur dan fungsi otak akan dijelaskan dibawah ini :
a)      Serebrum
Serebrum adalah bagian otak yang paling besar. Cerebrem mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh korpus kallosum. Setiap hemisfer terbagi atas empat lobus, yaitu lobus frontal, parietal, temporal dan oksipital (Tarwoto dkk, 2007).
(1)   Lobus frontal, berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intelektual, emosi dan fungsi fisik.
(2)   Lobus parietal, berfungsi sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan, perubahan suhu ringan dan pendengaran.
(3)   Lobus temporal, berfungsi sebagai input perasa pendengaran, pengecapan, penciuman, memori dan penyimpanan bahasa.
(4)   Lobus oksipital, berfungsi sebagai penerima informasi dan menafsirkan warna, reflek visual.
b)      Serebellum
Besarnya kira-kira ¼ dari cerebrum. Fungsi utama serebellum adalah: mengatur otot-otot postural tubuh. Serebellum mengkoordinasi penyesuaian secara cepat dan otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh serta melakukan program akan pergerakan-pergerakan pada keadaan sadar dan bawah sadar.
c)      Batang Otak
Batang otak berfungsi pengaturan reflek untuk fungsi vital tubuh (Tarwoto dkk, 2007). Batang otak terdiri dari:.
(1)   Otak tengah (mesensefalon), fungsi mengontrol refleks pergerakan mata akibat adanya stimulus pada N. III dan IV.
(2)   Pons, berfungsi sebagai pusat-pusat refleks pernafasan dan mempengaruhi tingkat karbon dioksida, aktivitas vasomotor.
(3)   Medula oblongata, mengandung pusat reflek yang penting untuk jantung, vasokontriktor, pernafasan, bersin, menelan, batuk, muntah, sekresi saliva.
d)     Diensefalon
Diensefalon terletak di atas batang otak dan terdiri dari (Tarwoto dkk, 2007):
(1)   Thalamus, berfungsi sebagai stasiun relay dan integrasi dari medula spinalis ke korteks serebri dan bagian lain dari otak.
(2)   Hypothalamus, berfungsi dalam mempertahankan homeostatis seperti pengaturan suhu tubuh,  rasa haus, lapar, respon sistem saraf otonom dan kontrol sekresi hormon dan kelenjar pituitari.
(3)   Epithalamus, berperan dalam pertumbuhan fisik dan seksual.
(4)   Subthalamus, fungsinya belum jelas diketahui, tetapi lesi pada subthalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus.
2)      Medula Spinalis
Terdiri dari 31 pasang saraf spinal berasal dari segmen yang berbeda dari spinal cord. Sebanyak 8 pasang dari servikal, 12 pasang dari bagian thoracal, 5 pasang lumbal dan sakral dan 1 pasang kogsigeal.


1)   Susunan saraf otonom
Aktivitasnya tidak di kontrol oleh kehendak. Menurut fungsinya, susunan saaraf otonom terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a)      Sistem saraf simpatis, saraf simpatis distimulasi oleh emosi, seperti rasa takut, marah, gembira.
b)     Sistem saraf parasimpatis, sistem saraf parasimpatis mempunyai pengaruh yang bertolak belakang dengan saraf simpatis yaitu menstimulasi sistem pencernaan dan merangsang keluaran asam lambung dan aktivitas peristaltik.
2)   Saraf Kranial
Saraf kranial terbagi dalam 12 jenis yang mempunyai fungsi pengaturan berbeda-beda pada masing-masing bagiannya. Pembagian fungsi saraf kranial tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1. Komponen dan Fungsi Saraf Kranial (Muttaqin, 2008)
No
Saraf Kranial
Bagian
Komponen Fungsi
I
Olfaktorius
Sensorik
Penciuman
II
Optikus
Sensorik
Penglihatan
III
Okulomotorius
Motorik
Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi pupil, sebagian besar gerakan ekstraokuler,
IV
Troklearis
Motorik
Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V
Trigeminus
Motorik
Otot temporalis dan maseter (menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral





Sensorik
·   Kulit wajah; dua pertiga depan kulit kepala; mukosa mata; mukosa hidung dan rongga mulut; lidah dan gigi.
·   Refleks kornea atau refleks mengedip; komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respons motorik melalui saraf kranial VII
VI
Abdusens
Motorik
Deviasi mata ke lateral
VII
Fasialis
Motorik
·   Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut.
·   Lakrimasi dan salivasi


Sensorik
Pengecapan dua pertiga depan lidah (rasa manis, asam, dan asin)
VIII
Cabang vestibularis vestibulokoklearis
Sensorik
Keseimbangan

Cabang koklearis
Sensorik
Pendengaran
IX
Glasofaringeus
Motorik
Faring : menelan, refleks muntah.
Parotis : saliva


Sensorik
Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit
X
Vagus
Motorik
Faring : menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen


Sensorik
Faring, laring : refleks muntah; visera leher, toraks dan abdomen.
XI
Assesorius
Motorik
Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius: pergerakan kepala dan bahu.
XII
Hipoglosus
Motorik
Pergerakan lidah

A.    Konsep Dasar Cedera Kepala
Untuk memperkaya pemahaman akan konsep cedera kepala, berikut ini akan dibahas tentang pengertian, etiologi, patofisiologi, tipe cedera kepala, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan, serta perawatan klien dengan kraniotomi.
1.      Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Traumatic brain injury (cedera kepala traumatik) didefinisikan sebagai kelainan non-generatif yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Black & Hawks, 2005).
Dapat disimpulkan, cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

2.      Etiologi
Adapun penyebab dari cedera kepala meliputi (Tarwoto, 2007):
a.       kecelakaan lalu lintas,
b.      terjatuh,
c.       pukulan atau trauma tumpul pada kepala,
d.      olah raga,
e.       benturan langsung pada kepala,
f.       kecelakaan industri.


1.      Tipe Cedera Kepala
Tipe dari cidera kepala dapat meliputi (Widagdo dkk, 2008):
a.       Fraktur Tengkorak
Fraktur kepala dapat melukai jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf dari otak, merobek dura mater yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospinalis, di mana dapat membuka suatu jalan untuk terjadinya infeksi intrakranial. Adapun macam-macam dari fraktur tengkorak berupa: linear fraktur, communited fraktur, depressed fraktur, coumpound fraktur dan fraktur dasar tengkorak.
b.      Cidera Serebral
Cidera serebral dapat meliputi:
1)      Komosio serebri, adalah suatu kerusakan sementara fungsi neurologi yang disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya tidak merusak struktur tetapi menyebabkan hilangnya ingatan sebelum dan sesudah cidera, lesu, mual dan muntah. Biasanya dapat kembali pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan timbul sindroma berupa sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk konsentrasi beberapa minggu setelah kejadian.
2)      Kontusio serebri. Benturan dapat menyebabkan perubahan dari struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan dengan/tanpa edema. Kontusio dapat berupa coup atau contracoup injury. Defisit neurologi serius dapat terjadi. Gejala-gejala tergantung pada luasnya kerusakan.
3)      Hematoma epidural, adalah perdarahan yang menuju ke ruang antara tengkorak dan dura mater. Kondisi ini terjadi karena laserasi dari arteri meningea madia. Gambaran klinik klasik yang terlihat berupa: hilangnya kesadaran dengan diikuti periode flaccid, tingkat kesadaran dengan cepat menurun menuju confusion sampai dengan koma. Jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian.
4)      Hematoma subdural, adalah perdarahan arteri atau vena dura mater dan arachnoid. Hematoma subdural akut dapat timbul dalam waktu 48 jam, dengan gejala-gejala berupa sakit kepala, mengantuk, agitasi, bingung dan dilatasi dan fiksasi pupil ipsilateral. Untuk hematoma subakut subdural gejala-gejalanya sama dengan yang akut, tetapi berkembang lebih lambat yaitu 2 hari sampai 2 minggu. Hematoma subdural kronik akibat trauma kecil dapat berkembang lebih lama lagi.
5)      Hematoma intracerebral, adalah perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering didapat pada lobus frontal atau temporal. Gejala-gejalanya meliputi: sakit kepala, menurunnya kesadaran, hemiplegia kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.
6)      Hematoma subarachnoid. Hematoma yang terjadi akibat trauma, meskipun pembentukkan hematoma jarang. Tanda dan gejala-gejalanya meliputi: kaku kuduk, sakit kepala, menurunnya tingkat kesadaran, hemiparesis dan ipsilateral dilatasi pupil.
c.       Derajat Kesadaran (GCS)
Berdasarkan derajat kesadaran, cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat (Tarwoto dkk, 2008, hlm. 128)
1)      Cedera kepala ringan, jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio dan hematom.
2)      Cedera kepala sedang, jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
3)      Cedera kepala berat, jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral.

2.      Manifestasi Klinis
Secara umum tanda dan gejala pada cedera kepala meliputi ada atau tidaknya fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto dkk, 2007).
a.       Fraktur tengkorak, fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek duramater yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospinalis. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkinan yang terjadi adalah:
1)      Keluarnya cairan CSS atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe)
2)      Kerusakan saraf kranial
3)      Perdarahan di belakang membran timpani
4)      Ekimosis pada periorbital

Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada saraf kranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Tanda dan gejalanya:
1)      Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan N. Optikus
2)      Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada N. Auditorius
3)      Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena kerusakan N. Okulomotorius
4)      Paresis wajah karena kerusakan N. Fasialis
5)      Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam
6)      Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular
7)      Warna kebiruan di belakang telinga di atas mastoid (battle sign)
b.      Tingkat kesadaran, tingkat kesadaran klien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada/tidaknya amnesia retrogat, mual dan muntah.


c.       Kerusakan jaringan otak, manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dari cedera kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.

3.      Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala menurut Wahjoepramono (2005) antara lain :
a.       Cedera Otak Sekunder akibat Hipoksia dan Hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.
b.      Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.


c.       Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema serebri.
d.      Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu ke arah celah-celah yang ada.
e.       Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya meningitis, ensefalitis, empyema subdural, osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.
f.       Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
g.      Fistula Cairan Serebrospinalis
Cedera kepala yang berat, misalnya sampai menyebabkan fraktur basis kranii, kerap disertai robeknya lapisan dura mater yang berakibat kebocoran cairan CSS. Kebocoran ini akan bermanifestasi sebagai rhinorrea atau dapat juga otorhea. Kebocoran cairan CSS memberikan resiko terjadinya infeksi selaput otak, sehingga penanganannya perlu diperhatikan dengan baik.

4.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien dengan cedera kepala adalah:
a.       Pemeriksaan Laboratorium
Ada pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala, yaitu (Wahjoepramono, 2005):
1)      Hemoglobin, berfungsi sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat.
2)      Leukositosis, berfungsi untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi.
3)      Golongan darah, berfungsi untuk persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan yang berat.
4)      GDS berfungsi, sebagai memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia.
5)      Fungsi ginjal, berfungsi memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.
6)      Analisa gas darah, berfungsi untuk memonitor PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan prognosis yang kurang baik oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
7)      Elektrolit, berfungsi untuk memantau adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran, dan toksikologi berfungsi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan kesadaran.
b.      Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada klien dengan cedera kepala adalah (Muttaqin, 2008):
1)      CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2)      Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
3)      EEG (Electro Encephalografi)
Memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang patologis.

4)      MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya daerah infark, hemoragik.
5)      Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

5.      Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah (Tarwoto, 2007):
a.       Penatalaksanaan Umum
1)      Monitor respirasi: bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu.
2)      Monitor tekanan intrakranial.
3)      Atasi syok bila ada.
4)      Kontrol tanda-tanda vital.
5)      Keseimbangan cairan elektrolit.
b.      Pengobatan
1)      Diuretik: untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasik).
2)      Antikonvulsan: untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium.
3)      Kortikosteroid: untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan deksametason.
4)      Antagonis histamin: mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan cemitidin, ranitidin.
5)      Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
c.       Operasi, dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kraniotomi.

6.      Penatalaksanaan Post Operasi Kraniotomi
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau mengontrol hemoragi (Smeltzer, 1996).
Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien dengan operasi kraniotomi:
a.       Mengurangi edema serebral. Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh).
b.      Meredakan nyeri dan mencegah kejang. Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
c.       Memantau tekanan intrakranial. Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tampak tersumbat.

A.    Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Post Operasi Craniotomi
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah post operasi craniotomi atas indikasi cedera kepala, penulis menggunakan pendekatan proses keperawatan teoritis, teori dan konsep diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan-tahapan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Doengoes, 1999 dan NANDA Internasional, 2010).

1.      Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah post operasi craniotomi atas indikasi cedera kepala adalah (Doengoes, 1999):
a.       Aktivitas/Istirahat
Gejala        :  Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda        :  Perubahan kesadaran, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera, kehilangan tonus otot.
b.      Sirkulasi
Gejala       : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, distritmia).
c.       Integritas Ego
Gejala       : Perubahan tingkah laku, kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda        : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi
d.      Eliminasi
Gejala        : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.       Makanan/Cairan
Gejala       : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda        : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot.
f.       Neurosensori
Gejala        : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, tinitus/dengung, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda        : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti). Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,  quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g.      Nyeri/kenyamanan
Gejala        : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda        : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.



h.      Pernafasan
Tanda        : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi).
i.        Keamanan
Gejala      :  Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda       :  Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
                   Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”, battle sign disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.        Interaksi Sosial
Tanda        : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria.
k.      Penyuluhan / pembelajaran
Gejala        : Penggunaan alkohol atau obat lain.




2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien dengan masalah post operasi craniotomi atas indikasi cedera kepala adalah (Doengoes, 1999):
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran darah (edema sisi operasi, pembentukan hematoma).
b.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, terapi pembatasan; imobilisasi, tirah baring.
c.       Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
d.      Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
e.       Resiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna nutrien (penurunan kesadaran), kelemahan otot mengunyah dan menelan.

Menurut NANDA Internasional (2010), diagnosa yang dapat digunakan adalah:
a.       Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak), infeksi.
b.      Defisit perawatan diri; mandi berhubungan dengan kerusakan kognitif, sensorik, memori, paralisis, menurunnya neuromuskuler.


3.      Rencana Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah post operasi craniotomi atas indikasi cedera kepala adalah (Doengoes, 1999):
a.       Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran darah (edema sisi operasi, pembentukan hematoma).
Tujuan    : Memaksimalkan perfusi/meningkatkan fungsi serebral.
Intervensi  :
1)      Kaji status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (seperti GCS).
2)      Pantau tanda-tanda vital.
3)      Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau posisi sejajar, hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
4)      Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
5)      Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
b.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak)
Tujuan    : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola nafas kembali efektif.
Intervensi  :
1)      Observasi fungsi pernafasan, catat frekuensi pernafasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
2)      Auskultasi bunyi napas setiap 1-2 jam
3)      Pertahankan bersihan jalan napas, suction jika perlu, Berikan oksigen sebelum suction.
4)      Berikan posisi semifowler.
5)      Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dengan dokter, radiologi, dan laboratorium; ekspekstoran, foto torax, AGD.
c.       Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
Tujuan: kerusakan integritas kulit mengalami perbaikan
1)      Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2)      Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3)      Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
4)      Ganti posisi pasien setiap 2 jam
5)      Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
6)      Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7)      Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
8)      Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9)      Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2
d.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, terapi pembatasan; imobilisasi, tirah baring.
Tujuan    : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.
Intervensi  :
1)   Kaji derajat imobilisasi klien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
2)   Letakkan klien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
3)   Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
4)   Berikan atau bantu klien untuk melakukan rentang gerak.
5)   Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.
e.       Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan    :  Mempertahankan normotermia, batas tanda-tanda infeksi dan mencapai penyembuhan luka tepat pada waktunya.
Intervensi  :
1)   Berikan perawatan septik dan antiseptik, pertahankan cuci tangan yang baik.
2)   Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
3)   Pantau suhu tubuh secara teratur.
4)   Berikan perawatan perineal, pertahankan integritas dari sistam drainage urin tertutup jika menggunakannya.
5)   Observasi warna atau kejernihan urine, catat adanya bau busuk.
6)   Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
7)   Berikan antibiotik sesuai indikasi.
8)   Ambil bahan pemeriksaan sesuai indikasi.
f.       Resiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna nutrien (penurunan kesadaran), kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Tujuan    : Dalam waktu 3 x 24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Intervensi  :
1)      Evaluasi kemampuan makan klien mengunyah, menelan
2)      Auskultasi bising usus
3)      Timbang berat badan
4)      Berikan makan dalam porsi kecil dan sering
5)      Konsultasi dengan ahli gizi
6)      Pantau pemeriksaan leboratorium; albumin
7)      Berikan makanan via NGT dengan makanan lunak atau cair
g.      Defisit perawatan diri; mandi berhubungan dengan kerusakan kognitif, sensorik, memori, paralisis, menurunnya neuromuskuler.
Tujuan       : perawatan diri; mandi terpenuhi

Intervensi  :
1)      Identifikasi kemampuan yang dapat dilakukan klien
2)      Bantu pasien secara bertahap kebutuhan perawatan diri klien
3)      Bekerja sama dengan fisioterapi dalam menentukan aktivitas yang tepat
4)      Anjurkan klien untuk mencoba kemampuan melakukan perawatan diri jika memungkinkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar